JAKARTA - Menjelang pergantian tahun, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melarang pertunjukan kembang api pada perayaan tahun baru 2026 menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk pelaku industri pariwisata.
Kebijakan ini diambil sebagai bentuk solidaritas dan empati terhadap para korban bencana alam yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu.
Di tengah kekhawatiran akan dampaknya terhadap tingkat hunian hotel, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyampaikan pandangannya dengan menekankan pentingnya kepekaan sosial tanpa mengabaikan keberlangsungan usaha.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyatakan memahami serta menghormati keputusan pemerintah daerah tersebut. Menurut organisasi ini, empati terhadap sesama yang sedang mengalami musibah merupakan nilai yang harus dijunjung bersama, termasuk oleh pelaku usaha pariwisata. Meski perayaan tahun baru identik dengan kemeriahan, situasi tertentu menuntut semua pihak untuk menahan diri dan menyesuaikan bentuk perayaan agar tetap selaras dengan kondisi sosial yang ada.
Sikap pelaku industri perhotelan
Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menegaskan bahwa dunia usaha pariwisata memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga suasana kebatinan publik. Ia menilai bahwa kebijakan pelarangan kembang api merupakan langkah yang patut dipahami dalam konteks empati sosial. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap okupansi hotel di Jakarta.
“Bagi sebagian pengunjung yang mengharapkan perayaan pergantian tahun dengan atraksi visual, tentu ada sedikit perubahan suasana dan pengalaman.
Meski tidak sampai menurunkan minat berkunjung secara drastis,” katanya saat dikonfirmasi Bloomberg Technoz, Selasa. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa faktor utama kunjungan hotel tidak semata-mata bergantung pada atraksi kembang api, melainkan juga pada layanan, kenyamanan, serta pengalaman menginap secara keseluruhan.
Sutrisno menambahkan bahwa sebagian besar tamu hotel tetap memandang momen pergantian tahun sebagai waktu untuk beristirahat, berkumpul bersama keluarga, atau menikmati suasana kota, terlepas dari ada atau tidaknya pertunjukan kembang api. Oleh karena itu, ia optimistis tingkat hunian hotel tetap terjaga.
Dampak terhadap minat wisatawan
Meski tidak berpengaruh besar, Sutrisno mengakui bahwa larangan pertunjukan kembang api dapat memberikan pengaruh kecil terhadap segmen wisatawan tertentu. Ada sebagian pengunjung yang secara khusus mencari pengalaman perayaan tahun baru dengan kemeriahan visual. Bagi segmen ini, kebijakan tersebut bisa memengaruhi ekspektasi mereka terhadap suasana malam pergantian tahun.
Namun demikian, ia menilai dampak tersebut bersifat terbatas dan tidak mengancam keberlangsungan industri perhotelan secara keseluruhan. Menurutnya, pariwisata tidak hanya soal hiburan, tetapi juga tentang nilai, pengalaman, dan makna. Dalam situasi tertentu, kesederhanaan justru dapat menghadirkan pengalaman yang lebih mendalam bagi wisatawan.
Sutrisno juga menekankan bahwa industri pariwisata harus mampu beradaptasi dengan berbagai kebijakan dan kondisi. Fleksibilitas menjadi kunci agar pelaku usaha tetap bisa bertahan dan berkembang, tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial yang melekat.
Pentingnya komunikasi kebijakan
Di sisi lain, PHRI berharap agar ke depan kebijakan serupa dapat dikomunikasikan lebih awal kepada pelaku usaha. Menurut Sutrisno, ruang dialog yang memadai akan sangat membantu dunia usaha dalam menyiapkan langkah antisipasi. Dengan adanya komunikasi yang lebih dini, pelaku industri dapat menyesuaikan konsep acara, strategi pemasaran, serta pengelolaan operasional secara lebih matang.
“Kami berharap ada komunikasi yang lebih dini agar pelaku usaha memiliki waktu adaptasi yang cukup,” ujarnya. Ia menilai bahwa keseimbangan antara nilai kemanusiaan dan keberlangsungan industri pariwisata dapat tercapai apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha.
Komunikasi yang efektif juga dinilai penting untuk mencegah kesalahpahaman di tengah masyarakat. Dengan penjelasan yang transparan, kebijakan pemerintah dapat dipahami sebagai bentuk empati, bukan pembatasan yang merugikan sektor tertentu.
Langkah alternatif menyambut tahun baru
Sebagai respons atas kebijakan larangan kembang api, PHRI Jakarta mendorong para anggotanya untuk menghadirkan alternatif perayaan yang lebih sederhana namun tetap bermakna. Sutrisno mengimbau hotel-hotel di Jakarta untuk mengganti atraksi kembang api dengan kegiatan lain yang relevan dengan suasana empati dan kebersamaan.
“Contohnya, doa bersama, pertunjukan musik akustik, atau kegiatan reflektif. PHRI juga mendorong hotel-hotel di Jakarta untuk tetap menjaga suasana perayaan yang aman, tertib, dan menghormati nilai empati sosial,” tambahnya. Menurutnya, konsep perayaan seperti ini justru dapat menciptakan suasana yang hangat dan berkesan bagi para tamu.
Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya PHRI mendukung kebijakan yang berlandaskan nilai kemanusiaan. Di saat yang sama, organisasi ini berharap adanya ruang komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha. Dengan demikian, dunia usaha pariwisata dapat terus berjalan secara sehat dan berkelanjutan, tanpa kehilangan kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat.